Diberdayakan oleh Blogger.

Mi perfil

RSS

Euthanasia pro dan kontra



2.1. Pengertian Euthanasia


Kata euthanasia  berasal dari Bahasa Yunani: ευθανασία.  Ευ (eu) yang artinya "baik", dan θάνατος (thanatos) yang berarti “kematian”. Secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai ‘mati yang layak’ atau ‘mati yang baik (good death)’.  Dalam arti aslinya (Yunani) kata ini lebih berpusat pada cara seseorang mati yakni dengan hati yang tenang dan damai, namun bukan pada percepatan kematian. Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan tanpa penderitaan” (mercy killing). Euthanasia secara umum adalah suatu usaha/tindakan medis yang dilakukan secara sadar untuk mengakhiri suatu kehidupan, baik dengan menggunakan alat-alat bantu yang memudahkan kematian misalnya memberikan obat yang berdosis tinggi atau suntik mati maupun tidak menggunakan alat bantu sama sekali misalnya menghentikan pengobatan bagi penderita kanker yang sudah kritis dan dalam keadaan koma. Di dunia etik kedokteran kata euthanasia diartikan secara harfiah akan memiliki arti “mati baik”. Di dalam bukunya seorang penulis Yunani bernama Suetonius menjelaskan arti euthanasia sebagai “mati cepat tanpa derita”. Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda) menyatakan: “Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri”
Wismady Wahono S. mengatakan bahwa eutanasia adalah; “Pemahaman yang mencakup segala usaha yang tertuju kepada matinya seseorang pasien secara tenang, damai dan tanpa rasa sakit. Beliau mengemukakan 4 (empat) macam eutanasia. Pertama, pemberian penjelasan-penjelasan jasmaniah dan rohaniah, khususnya kepada pasien menjelang saat kematiannya, tanpa usaha memperpendek hidupnya. Kedua, menolong si pasien dengan kemungkinan memperpendek hidup. Ketiga, memberikan penyebab kematian, dengan atau tanpa permintaan sipasien, misalnya pada pasien yang mengalami penderitaan yang tak tertahankan. Keempat, pembinasaan terhadap hidup yang dianggab ‘tidak ada manfaatnya’ lagi” (Vokatio Dei, 1990: 46).                  

2.2  Klasifikasi Euthanasia

a.       Dilihat dari orang yang membuat keputusan euthanasia dibagi menjadi:
1.      Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit
2.      Involuntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang lain seperti pihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma medis.
b.      Menurut Dr. Veronica Komalawati, S.H., M.H., ahli hukum kedokteran dan staf pengajar pada Fakultas Hukum UNPAD dalam artikel harian Pikiran Rakyat mengatakan bahwa euthanasia dapat dibedakan menjadi:
1.      Euthanasia aktif, yaitu tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya, memberi tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat berbahaya ke tubuh pasien.
Euthanasia aktif ini dibedakan dalam dua bagian:
-           Euthanasia aktif langsung adalah dilakukannya tindakan medis secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien, atau memperpendek hidup pasien dengan cara misalnya di suntik mati. Jenis euthanasia ini dikenal juga sebagai mercy killing.
-           Euthanasia tidak langsung adalah dimana dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan medis untuk meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui adanya resiko tersebut dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.   Dokter hanya membantu pasien, misalnya dengan memberi resep obat yang mematikan dalam dosis besar.  Euthanasia ini biasanya disebut “bunuh diri berbantuan” atau “bunuh diri yang dibantu dokter” (tentu ini tidak berlaku bagi pasien yang untuk bergerak pun tidak bisa).

2.      Euthanasia pasif, yaitu perbuatan yang menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan kehidupan manusia.  Dalam hal ini, dokter atau tenaga medis lainnya secara sengaja tidak lagi memberikan pengobatan demi memperpanjang kehidupan pasien, misalnya: dengan mencabut alat-alat yang digunakan untuk mempertahankan hidup, keluarga tidak lagi merawat pasien di RS.  Hal ini terjadi untuk pasien yang benar-benar sudah terminal, dalam arti tidak bisa disembuhkan lagi, dan segala upaya pengobatan sudah tidak berguna pula. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, dan melakukan kasus malpraktik.  Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah sakit untuk membuat "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis.
c.       Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
1.      Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan. Autoeuthanasia. Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa itu akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya.
2.      Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga. Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi pasien
3.      Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal controversial.
d.      Berdasarkan tujuan euthanasia dibedakan menjadi :
1.       Pembunuhan berdasarkan belas kasihan
2.      Eutanasia hewan
3.      Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara sukarela.

2.3.   Euthanasia dalam pandangan alkitab

Dalam menyikapi soal euthanasia ini, ada banyak pro-kontra. Para pendukung atau pro euthanasia berpendapat bahwa orang sakit harus memiliki hak untuk mengakhiri penderitaan mereka dengan cara kematian cepat, bermartabat dan penuh kasih.   Beberapa alasan yang diungkapkan pro-euthanasia adalah:
1.      Adanya hak moral bagi setiap orang untuk mati terhormat. Maka seseorang mempunyai hak memilih cara kematiannya.
2.      Adanya hak ‘privacy’ yang secara legal melekat pada tiap orang. Maka seseorang berhak sesuai privacy-nya.
3.      Euthanasia adalah tindakan belas – kasihan/kemurahan pada si sakit. Maka tidak bertentangan dengan peri-kemanusiaan. Meringankan penderitaan sesama adalah tindakan kebajikan.
4.      Euthanasia adalah juga tindakan belas kasih pada keluarga. Bukan hanya si sakit yang menderita, tetapi juga keluarganya. Meringankan penderitaan si sakit berarti meringankan penderitaan keluarga khususnya penderitaan psikologis.
5.      Euthanasia mengurangi beban ekonomi keluarga. Dari pada membuang dana untuk usaha yang mungkin sia-sia, lebih baik uang dipakai untuk keluarga yang masih hidup.
6.      Euthanasia meringankan beban biaya sosial masyarakat, bukan hanya dari segi ekonomi tetapi juga beban sosial misalnya dengan mengurangi biaya perawatan mereka yang cacat secara permanen
Memahami pendapat yang pro euthanasia ini, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pendapat tersebut berdasarkan pada semboyan menyangkut otonomi, keinginan individu yang harus diperlakukan secara istimewa.  Inti dari pro euthanasia ini adalah pilihan pribadi dan kesadaran diri dengan sedikit bantuan dari orang lain (dokter, keluarga atau teman-temannya sendiri). 
Menurut pandangan agama Kristen, euthanasia ini tidak berjalan beriringan dengan apa yang tertulis dalam alkitab. Praktek euthanasia adalah salah karena melanggar prinsip bahwa kehidupan itu diberikan oleh Allah. Allah tidak menyetujui “tangan yang menumpahkan darah orang tidak bersalah”(Amsal 6:16,17). Kehidupan berasal dari Allah dan keputusan hanya berasal dari Allah untuk memberi kehidupan dan mengambilnya kembali (Pengkhotbah 12:7; Ayub 1:21). Dalam Alkitab, “menumpahkan darah orang yang tidak bersalah” disebut pembunuhan (1 Yohanes 3:15; Kejadian 9:6).
Hidup adalah pemberian Tuhan (Kejadian 2:7). Manusia menjadi makhluk hidup setelah Tuhan Allah menghembuskan napas kehidupan kepadanya (band. Yehezkiel 37:9-10). Napas kehidupan diberikan TUHAN sehingga manusia memperoleh kehidupan. Tugas manusia tidak lain kecuali memelihara kehidupan yang diberikan oleh Tuhan (Efesus 5:29 “sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat”). Bukan hanya kehidupan yang sehat, tetapi juga hidup yang dirundung oleh penderitaan, hidup yang sakit, harus dipelihara. Maka penderitaan harus dapat diterima sebagai bagian kehidupan orang percaya (Roma 5:3) termasuk penderitaan karena sakit. Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri.  Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang- kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Demikian juga para dokter yang melakukan euthanasia bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan, yaitu memperpendek umur. Salah satu contoh kasus dalam Perjanjian Lama yang hampir menjadi kasus euthanasia adalah kasus Saul yang meminta kepada pembawa senjatanya untuk menikamnya. Tetapi pembawa senjatanya tidak mau, karena segan. Kemudian Saul mengambil pedang itu dan menjatuhkan dirinya ke atasnya (1 Samuel 31:4).  Raja Saul berada pada ambang keputus-asaan dan merasa sudah tidak ada jalan keluar selain mengakhiri penderitaannya.  Euthanasia diminta atau dilakukan karena alasan tidak tahan menderita, baik karena penyakit (rasa sakit) maupun oleh penghinaan di medan perang (rasa malu). Kasus Saul mirip dengan kasus Abimelekh (Hakim 9:54); takut disiksa dan dipermalukan adalah alasan melakukan euthanasia. Kasus euthanasia adalah kasus kematian yang dipaksakan, dan hal ini masuk dalam kategori pembunuhan.  Dalam Keluaran 20:13, dengan tegas firman Tuhan berkata: “Jangan membunuh.”  Dengan demikian tidak ada alasan moral apapun yang mengijinkan pembunuhan, dan manusia itu sendiri tidak memiliki hak untuk menentukan kematiannya, karena kematian adalah hak Tuhan (Ulangan 32:39; Ayub 1:21; Ibrani 9:27). 
Dalam Alkitab, penderitaan mempunyai fungsi yang positif dan konstruktif dalam hidup manusia (Yakobus 1:2-4; Roma 5:3-4), penderitaan melahirkan ketekunan, pengharapan yang tidak mengecewakan dan kesempurnaan hidup. Jika pro euthanasia mengatakan bahwa mengakhiri penderitaan seseorang adalah sikap murah hati, berarti penderitaan dijadikan sebagai alat pembenaran praktek.  Walaupun euthanasia dapat mengakhiri penderitaan, euthanasia tetaplah suatu pembunuhan. Kalau penderitaan diakhiri dengan euthanasia, itu sama artinya menghalalkan segala cara untuk tujuan tertentu. Rumus tersebut tidak bisa diterima secara moral maupun keyakinan Kristen.  Euthanasia kalau secara moral, tidak dapat diterima dari perspektif dan etika kristen karena hal ini menolak kedaulatan Allah atas hidup manusia sekaligus telah membuat manusia dapat menentukan kematiannya sendiri, sedangkan seperti kita ketahui bahwa Allah yang menciptakan manusia dan Dia pula yang berkenan atas hidup manusia sehingga yang berhak untuk menentukan dan mengambil hidup manusia (kematian) adalah Allah sendiri. Hal ini juga telah ditulis dalam Kitab Kejadian, bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu.                       
Masalah Eutanasia ini tidak secara tersurat ditulis dan dibahas dalam Alkitab PL maupun PB. Namun secara umum, sikap gereja sejak zaman Bapa-Bapa gereja sampai kini, dengan tegas menolak Eutanasia ini (Edward & Darrel). Keberatan utama yang dikemukakan oleh mereka adalah karena Euthanasia itu merupakan pembunuhan. Dasar teologis yang dipegang oleh mereka yaitu dalah hukum taurat ke 6 yang menyebutkan dengan tegas, “ jangan membunuh” (Kel 20:13).
Sering banyak orang menjadi salah persepsi bahwa euthanasia itu baik untuk dilakukan karena merupakan perbuatan kasih dan belas kasihan. Tetapi mereka ternyata keliru, sebab tidak mungkin Tuhan mengajarkan manusia untuk saling mengasihi bila pada akhirnya manusia jugalah yang membunuh mereka, jika itu kita tetap lakukan maka kita sama dengan orang yang tidak percaya Tuhan. Ketika kita melihat orang yang sudah sekarat bertahun-tahun dan sangat menderita, beberapa kelompok orang sering secara cepat mengambil keputusan karena merasa kasihan dan mengambil tindakan yang menurut mereka baik agar orang tersebut tidak lagi hidup dalam kondisi yang menderita, tindakan baik yang kebanyakan kita lakukan yaitu meminta tolong dokter atau para medis untuk ‘membunuh’nya, hal itu juga dipicu karena orang ini sudah terlalu menyusahakan keluarganya. Jika kita memang berpikir dan melakukan hal semacam itu, kita sama dengan mengtuhankan diri kita sendiri sebagai ‘tuhan’ yang dapat menentukan hidup atau matinya orang ini. Pada dasarnya pihak-pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, beranggapan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu alasan kemanusian. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Ini merupakan tindakan dan pola pikir yang salah dari pihak yang mendukung Eutanasia sebab seperti yang kita ketahui bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia. Pelaksanaan eutanasia atas pertimbangan permintaan  pasien karena tidak tertahankan lagi rasa sakit yang diderita bukanlah legitimasi yang dapat dibenarkan. Sekalipun penyakit seseorang sudah divonis oleh ilmu kedokteran tidak bisa lagi disembuhkan, dalam hal inipun usaha-usaha eutanasia tidak dapat ditolelir, karena pemikiran tersebut menutup peluang terhadap muzizat Tuhan untuk bekerja.
Selain itu, salah satu alasan mengapa melakukan euthanasia adalah ketika suatu keluarga merasakan ketidaksanggupannya dalam membayar biaya perawatan untuk si penderita dan membiarkannya hidup hanyalah membuang-buang uang saja. Apakah nilai kehidupan ini bisa dibayarkan oleh sejumlah uang? Hidup dan mati seseorang tidak dapat diukur dengan uang, karena kehidupan kita lebih berharga daripada uang atau apapun juga, uang itu berasal dari hidup kita dan kita yang menghasilkan uang, uang itu bisa saja habis dan musnah karena dipakai atau digunakan oleh kita, namun Tuhan Allah menciptakan kita didunia ini untuk hidup bukan untuk mati. Jadi selama pasien masih memiliki kesempatan untuk hidup mengapa orang lain justru ingin mengakhiri hidupnya. Oleh karena itulah hidup kita ini lebih berharga daripada uang dan tak bisa diukur dengan nilai apapun.
Seseorang yang menderita penyakit yang sudah tak ada harapan lagi tersebut sebenarnya tidak pernah ingin menghadapi situasi seperti itu, dan ketika pihak keluarga ingin melakukan euthanasia, maka keputusan ini hanya akan mempengaruhi kondisi psikologis pasien. Karena ketika ia diperhadapkan pada pilihan hidup atau mati, dan orang-orang sekitarnya lebih ingin ia untuk mati, maka pasien tersebut akan merasa tertolak oleh keluarga dan kondisinya akan semakin parah karena depresi. Pembinasaan terhadap hidup yang dianggap ‘tidak ada manfaatnya’ lagi. Hal ini sangat bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang sebenarnya. Tidak ada hidup ‘yang tidak ada manfaatnya’. Manfaat hidup yang sesungguhnya harus kita lihat dalam korelasinya dengan penciptanya bukan dalam hal hubungannya dengan penyakit yang diderita ataupun dalam hubungannya dengan pihak keluarga yang menganggabnya tidak berarti lagi. Sebenarnya, jika memang merasa kasihan, tindakan kasihan itu tidaklah dilakukan dengan cara menghabisi hidupnya. Karena kasih sayang itu bukan dengan cara membunuh. Euthanasia ini dapat dilakukan dengan cara memberhentikan alat-alat medis yang fungsinya menunjang kehidupan pasien. Menurut kelompok kami, mengapa alat yang menunjang tersebut harus dilepas dari pasien kalau kehidupannya bisa didukung dengan alat tersebut? Alat-alat yang dilepas dari pasien hanya membuatnya akan mati dan itu sama saja dengan membunuhnya, sehingga alat tersebut tidak perlu dilepas selama alat itu masih menunjang diri pasien tersebut untuk hidup. Mengenai birokrasi rumah sakit yang sering kali menunda tindakan penyembuhan jika administrasinya belum selesai, menurut kami hal tersebut bukanlah tindakan euthanasia, karena euthanasia adalah suatu bentuk kematian yang disengaja agar tidak merasakan sakit, sedangkan penundaan tindakan pengobatan oleh rumah sakit, bukanlah bertujuan untuk memberikan kematian yang “nyaman”. Masalahnya disini adalah dokter belum bertanggungjawab atas pasien sebelum pasien tersebut sudah berada didepannya, jadi selagi pasien masih berurusan dengan birokrasi rumah sakit, pasien masih tanggungan keluarga. Untuk mengurangi hal-hal seperti ini, pemerintah Indonesia harus semakin ketat terhadap peraturan hukum yang terdapat pada pasal 304 KUHP, dimana penundaan pengobatan akibat administrasi yang belum selesai yang adalah suatu tindakan yang disengaja, bisa berkurang. Seharusnya, administrasi bisa dilakukan setelah pasien ditangani agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Hidup dan mati adalah hak prerogatif Tuhan sebagai Sang Pencipta. Allah telah memberi kita hak untuk membuat pilihan dalam kehidupan ini.  Manusia lebih berharga daripada materi (band. Matius 5, tentang khotbah di Bukit). Alasan-alasan seperti rasa kasihan melihat penderitaan pasien, alasan ekonomi, atau kerepotan mengurus pasien, tidak bisa mengesampingkan hak prerogatif Allah tersebut.
Jadi menurut kami, euthanasia merupakan salah satu praktek kedokteran yang tidak bermoral. Jika euthanasia dilakukan bedasarkan permintaan pasien, kita perlu menyadari bahwa tidak seorang pun yang dapat menentukan kematianya. Secara tidak langsung permintaan tersebut sama dengan bunuh diri. Jika euthanasia dilakukan dengan alasan untuk mengurangi beban penderitaan pasien atau alasan ekonomi keluarga yang tidak mampu, tentu saja hal ini melanggar hak asasi si pasien. Pengakhiran kehidupan tanpa sepengetahuan pasien sudah termasuk dalam kategori tindak pidana pembunuhan. Sesuai dengan sumpahnya, seorang dokter seharusnya berusaha untuk mempertahankan kehidupan pasien sampai batas akhir kesanggupannya. dalam kode etik kedokteran (1969) juga dinyatakan bahwa dokter harus mengerahkan kepandaian dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup, tetapi tidak dengan cara mengakhiri hidup setiap pasien.

2.4.  Euthanasia dalam pandangan hukum di Indonesia

Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya
Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dari ketentuan tersebut, ketentuan yang berkaitna langsung dengan euthanasia aktif terdapat pada pasal 344 KUHP.
Pasal 344 KUHP : barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Untuk euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini perlu diketahui oleh dokter.
Pasal 340 KUHP : Barang siapa yang dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati
atau pejara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
Pasal 359 : Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
 Pasal 345 : Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun penjara.
Berdasarkan penjelasan pandangan hukum terhadap tindakan euthanasia maka dokter dan keluarga yang memberikan izin dalam pelaksanaan tindakan tersebut dapat dijeratkan dengan pasal 345 KUHP dengan acaman penjara selama-lamanya empat tahun penjara.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar