2.1. Pengertian Euthanasia
Kata
euthanasia berasal dari Bahasa Yunani: ευθανασία. Ευ
(eu) yang artinya "baik", dan θάνατος (thanatos) yang
berarti “kematian”. Secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai ‘mati
yang layak’ atau ‘mati yang baik (good death)’.
Dalam arti aslinya (Yunani) kata ini lebih berpusat pada cara seseorang
mati yakni dengan hati yang tenang dan damai, namun bukan pada percepatan kematian.
Menurut
Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan tanpa penderitaan” (mercy
killing). Euthanasia secara umum adalah suatu usaha/tindakan medis yang
dilakukan secara sadar untuk mengakhiri suatu kehidupan, baik dengan
menggunakan alat-alat bantu yang memudahkan kematian misalnya memberikan obat
yang berdosis tinggi atau suntik mati maupun tidak menggunakan alat bantu sama
sekali misalnya menghentikan pengobatan bagi penderita kanker yang sudah kritis
dan dalam keadaan koma. Di dunia etik kedokteran kata euthanasia diartikan
secara harfiah akan memiliki arti “mati baik”. Di dalam bukunya seorang penulis
Yunani bernama Suetonius menjelaskan arti euthanasia sebagai “mati cepat tanpa
derita”. Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda)
menyatakan: “Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan
sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu
untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini
dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri”
Wismady
Wahono S. mengatakan bahwa eutanasia adalah; “Pemahaman yang mencakup segala
usaha yang tertuju kepada matinya seseorang pasien secara tenang, damai dan
tanpa rasa sakit. Beliau mengemukakan 4 (empat) macam eutanasia. Pertama, pemberian penjelasan-penjelasan
jasmaniah dan rohaniah, khususnya kepada pasien menjelang saat kematiannya,
tanpa usaha memperpendek hidupnya. Kedua,
menolong si pasien dengan kemungkinan memperpendek hidup. Ketiga, memberikan penyebab kematian, dengan atau tanpa permintaan
sipasien, misalnya pada pasien yang mengalami penderitaan yang tak tertahankan.
Keempat, pembinasaan terhadap hidup
yang dianggab ‘tidak ada manfaatnya’ lagi” (Vokatio Dei, 1990: 46).
2.2 Klasifikasi Euthanasia
a.
Dilihat dari
orang yang membuat keputusan euthanasia dibagi menjadi:
1.
Voluntary
euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit
2.
Involuntary
euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang lain seperti pihak
keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma medis.
b.
Menurut Dr.
Veronica Komalawati, S.H., M.H., ahli hukum kedokteran dan staf pengajar pada
Fakultas Hukum UNPAD dalam artikel harian Pikiran Rakyat mengatakan bahwa
euthanasia dapat dibedakan menjadi:
1.
Euthanasia
aktif, yaitu tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter atau tenaga
kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya,
memberi tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat berbahaya ke tubuh pasien.
Euthanasia aktif ini dibedakan dalam dua bagian:
-
Euthanasia aktif
langsung adalah dilakukannya tindakan medis secara terarah yang diperhitungkan
akan mengakhiri hidup pasien, atau memperpendek hidup pasien dengan cara misalnya di suntik mati. Jenis euthanasia ini dikenal juga sebagai mercy killing.
-
Euthanasia tidak
langsung adalah dimana dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan medis
untuk meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui adanya resiko tersebut
dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. Dokter hanya membantu pasien,
misalnya dengan memberi resep obat yang mematikan dalam dosis besar. Euthanasia ini biasanya disebut “bunuh diri
berbantuan” atau “bunuh diri yang dibantu dokter” (tentu ini tidak berlaku bagi
pasien yang untuk bergerak pun tidak bisa).
2.
Euthanasia pasif, yaitu perbuatan yang
menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk
mempertahankan kehidupan manusia. Dalam
hal ini, dokter atau tenaga medis lainnya secara sengaja
tidak lagi memberikan pengobatan demi memperpanjang kehidupan pasien, misalnya:
dengan mencabut alat-alat yang digunakan untuk mempertahankan hidup, keluarga
tidak lagi merawat pasien di RS. Hal ini
terjadi untuk pasien yang benar-benar sudah terminal, dalam arti tidak bisa disembuhkan
lagi, dan segala upaya pengobatan sudah tidak berguna pula. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi
pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan
antibiotika kepada penderita pneumonia berat, dan melakukan kasus malpraktik. Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan
oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang,
misalnya akibat keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan menanggung beban
biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin
membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah sakit untuk
membuat "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal,
pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis.
c.
Ditinjau dari
sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
1.
Eutanasia di
luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan
keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat
disamakan dengan pembunuhan. Autoeuthanasia. Seorang pasien menolak secara
tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa itu
akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya.
2.
Eutanasia secara
tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan
perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga. Hal
ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk
mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si
pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat
kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil
keputusan bagi pasien
3.
Eutanasia secara
sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga
masih merupakan hal controversial.
d.
Berdasarkan
tujuan euthanasia dibedakan menjadi :
1.
Pembunuhan berdasarkan belas kasihan
2.
Eutanasia hewan
3.
Eutanasia
berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif
secara sukarela.
2.3. Euthanasia dalam pandangan alkitab
Dalam
menyikapi soal euthanasia ini, ada banyak pro-kontra. Para pendukung atau pro euthanasia berpendapat bahwa
orang sakit harus memiliki hak untuk mengakhiri penderitaan mereka dengan cara
kematian cepat, bermartabat dan penuh kasih.
Beberapa alasan yang diungkapkan pro-euthanasia adalah:
1.
Adanya hak moral bagi setiap orang untuk mati terhormat. Maka seseorang
mempunyai hak memilih cara kematiannya.
2.
Adanya hak ‘privacy’ yang secara legal melekat pada tiap orang. Maka
seseorang berhak sesuai privacy-nya.
3.
Euthanasia adalah tindakan belas – kasihan/kemurahan pada si sakit. Maka
tidak bertentangan dengan peri-kemanusiaan. Meringankan penderitaan sesama
adalah tindakan kebajikan.
4.
Euthanasia adalah juga tindakan belas kasih pada keluarga. Bukan hanya si
sakit yang menderita, tetapi juga keluarganya. Meringankan penderitaan si sakit
berarti meringankan penderitaan keluarga khususnya penderitaan psikologis.
5.
Euthanasia mengurangi beban ekonomi keluarga. Dari pada membuang dana untuk
usaha yang mungkin sia-sia, lebih baik uang dipakai untuk keluarga yang masih
hidup.
6.
Euthanasia meringankan beban biaya sosial masyarakat, bukan hanya dari segi
ekonomi tetapi juga beban sosial misalnya dengan mengurangi biaya perawatan
mereka yang cacat secara permanen
Memahami pendapat yang pro
euthanasia ini, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pendapat tersebut
berdasarkan pada semboyan menyangkut otonomi, keinginan individu yang harus
diperlakukan secara istimewa. Inti dari
pro euthanasia ini adalah pilihan pribadi dan kesadaran diri dengan sedikit
bantuan dari orang lain (dokter, keluarga atau teman-temannya sendiri).
Menurut
pandangan agama Kristen, euthanasia ini tidak berjalan beriringan dengan apa
yang tertulis dalam alkitab. Praktek euthanasia adalah salah karena melanggar
prinsip bahwa kehidupan itu diberikan oleh Allah. Allah tidak menyetujui
“tangan yang menumpahkan darah orang tidak bersalah”(Amsal 6:16,17). Kehidupan
berasal dari Allah dan keputusan hanya berasal dari Allah untuk memberi
kehidupan dan mengambilnya kembali (Pengkhotbah 12:7; Ayub 1:21). Dalam
Alkitab, “menumpahkan darah orang yang tidak bersalah” disebut pembunuhan (1
Yohanes 3:15; Kejadian 9:6).
Hidup adalah pemberian Tuhan
(Kejadian 2:7). Manusia menjadi makhluk hidup setelah Tuhan Allah menghembuskan
napas kehidupan kepadanya (band. Yehezkiel 37:9-10). Napas kehidupan diberikan
TUHAN sehingga manusia memperoleh kehidupan. Tugas manusia tidak lain kecuali memelihara kehidupan yang diberikan oleh
Tuhan (Efesus 5:29 “sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi
mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat”). Bukan
hanya kehidupan yang sehat, tetapi juga hidup yang dirundung oleh penderitaan,
hidup yang sakit, harus dipelihara. Maka penderitaan harus dapat diterima
sebagai bagian kehidupan orang percaya (Roma 5:3) termasuk penderitaan karena
sakit. Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun
di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya
sendiri. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh
penderitaan bahkan kadang- kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan
putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Demikian juga para
dokter yang melakukan euthanasia bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan
melawan kehendak Tuhan, yaitu memperpendek umur. Salah satu contoh kasus dalam
Perjanjian Lama yang hampir menjadi kasus euthanasia adalah kasus Saul yang
meminta kepada pembawa senjatanya untuk menikamnya. Tetapi pembawa senjatanya
tidak mau, karena segan. Kemudian Saul mengambil pedang itu dan menjatuhkan
dirinya ke atasnya (1 Samuel 31:4). Raja
Saul berada pada ambang keputus-asaan dan merasa sudah tidak ada jalan keluar
selain mengakhiri penderitaannya.
Euthanasia diminta atau dilakukan karena alasan tidak tahan menderita,
baik karena penyakit (rasa sakit) maupun oleh penghinaan di medan perang (rasa
malu). Kasus Saul mirip dengan kasus Abimelekh (Hakim 9:54); takut disiksa dan
dipermalukan adalah alasan melakukan euthanasia. Kasus euthanasia adalah kasus
kematian yang dipaksakan, dan hal ini masuk dalam kategori pembunuhan. Dalam Keluaran 20:13, dengan tegas firman
Tuhan berkata: “Jangan membunuh.” Dengan
demikian tidak ada alasan moral apapun yang mengijinkan pembunuhan, dan manusia
itu sendiri tidak memiliki hak untuk menentukan kematiannya, karena kematian
adalah hak Tuhan (Ulangan 32:39; Ayub 1:21; Ibrani 9:27).
Dalam Alkitab, penderitaan
mempunyai fungsi yang positif dan konstruktif dalam hidup manusia (Yakobus
1:2-4; Roma 5:3-4), penderitaan melahirkan ketekunan, pengharapan yang tidak
mengecewakan dan kesempurnaan hidup. Jika pro euthanasia mengatakan bahwa
mengakhiri penderitaan seseorang adalah sikap murah hati, berarti penderitaan
dijadikan sebagai alat pembenaran praktek.
Walaupun euthanasia dapat mengakhiri penderitaan, euthanasia tetaplah
suatu pembunuhan. Kalau penderitaan diakhiri dengan euthanasia, itu sama artinya
menghalalkan segala cara untuk tujuan tertentu. Rumus tersebut tidak bisa
diterima secara moral maupun keyakinan Kristen.
Euthanasia kalau secara
moral, tidak dapat diterima dari perspektif dan etika kristen karena hal ini
menolak kedaulatan Allah atas hidup manusia sekaligus telah membuat manusia
dapat menentukan kematiannya sendiri, sedangkan seperti kita ketahui bahwa
Allah yang menciptakan manusia dan Dia pula yang berkenan atas hidup manusia
sehingga yang berhak untuk menentukan dan mengambil hidup manusia (kematian)
adalah Allah sendiri. Hal ini juga telah ditulis dalam Kitab Kejadian, bahwa
Allah adalah pencipta segala sesuatu.
Masalah
Eutanasia ini tidak secara tersurat ditulis dan dibahas dalam Alkitab PL maupun
PB. Namun secara umum, sikap gereja sejak zaman Bapa-Bapa gereja sampai kini,
dengan tegas menolak Eutanasia ini (Edward & Darrel). Keberatan utama yang
dikemukakan oleh mereka adalah karena Euthanasia itu merupakan pembunuhan.
Dasar teologis yang dipegang oleh mereka yaitu dalah hukum taurat ke 6 yang
menyebutkan dengan tegas, “ jangan membunuh” (Kel 20:13).
Sering
banyak orang menjadi salah persepsi bahwa euthanasia itu baik untuk dilakukan
karena merupakan perbuatan kasih dan belas kasihan. Tetapi mereka ternyata
keliru, sebab tidak mungkin Tuhan mengajarkan manusia untuk saling mengasihi
bila pada akhirnya manusia jugalah yang membunuh mereka, jika itu kita tetap
lakukan maka kita sama dengan orang yang tidak percaya Tuhan. Ketika kita
melihat orang yang sudah sekarat bertahun-tahun dan sangat menderita, beberapa
kelompok orang sering secara cepat mengambil keputusan karena merasa kasihan
dan mengambil tindakan yang menurut mereka baik agar orang tersebut tidak lagi
hidup dalam kondisi yang menderita, tindakan baik yang kebanyakan kita lakukan
yaitu meminta tolong dokter atau para medis untuk ‘membunuh’nya, hal itu juga
dipicu karena orang ini sudah terlalu menyusahakan keluarganya. Jika kita
memang berpikir dan melakukan hal semacam itu, kita sama dengan mengtuhankan
diri kita sendiri sebagai ‘tuhan’ yang dapat menentukan hidup atau matinya
orang ini. Pada dasarnya pihak-pihak yang menyetujui euthanasia dapat
dilakukan, beranggapan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak
untuk mengakhiri hidupnya dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan
yang cukup mendukung yaitu alasan kemanusian. Dengan keadaan dirinya yang tidak
lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan
permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Ini merupakan tindakan dan pola
pikir yang salah dari pihak yang mendukung Eutanasia sebab seperti yang kita
ketahui bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya,
karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu
gugat oleh manusia. Pelaksanaan eutanasia atas pertimbangan
permintaan pasien karena tidak
tertahankan lagi rasa sakit yang diderita bukanlah legitimasi yang dapat
dibenarkan. Sekalipun penyakit seseorang sudah divonis oleh ilmu kedokteran
tidak bisa lagi disembuhkan, dalam hal inipun usaha-usaha eutanasia tidak dapat
ditolelir, karena pemikiran tersebut menutup peluang terhadap muzizat Tuhan
untuk bekerja.
Selain
itu, salah satu alasan mengapa melakukan euthanasia adalah ketika suatu
keluarga merasakan ketidaksanggupannya dalam membayar biaya perawatan untuk si
penderita dan membiarkannya hidup hanyalah membuang-buang uang saja. Apakah
nilai kehidupan ini bisa dibayarkan oleh sejumlah uang? Hidup dan mati
seseorang tidak dapat diukur dengan uang, karena kehidupan kita lebih berharga
daripada uang atau apapun juga, uang itu berasal dari hidup kita dan kita yang
menghasilkan uang, uang itu bisa saja habis dan musnah karena dipakai atau
digunakan oleh kita, namun Tuhan Allah menciptakan kita didunia ini untuk hidup
bukan untuk mati. Jadi selama pasien masih memiliki kesempatan untuk hidup
mengapa orang lain justru ingin mengakhiri hidupnya. Oleh karena itulah hidup
kita ini lebih berharga daripada uang dan tak bisa diukur dengan nilai apapun.
Seseorang
yang menderita penyakit yang sudah tak ada harapan lagi tersebut sebenarnya
tidak pernah ingin menghadapi situasi seperti itu, dan ketika pihak keluarga
ingin melakukan euthanasia, maka keputusan ini hanya akan mempengaruhi kondisi
psikologis pasien. Karena ketika ia diperhadapkan pada pilihan hidup atau mati,
dan orang-orang sekitarnya lebih ingin ia untuk mati, maka pasien tersebut akan
merasa tertolak oleh keluarga dan kondisinya akan semakin parah karena depresi.
Pembinasaan
terhadap hidup yang dianggap ‘tidak ada manfaatnya’ lagi. Hal ini sangat
bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang sebenarnya. Tidak ada hidup ‘yang
tidak ada manfaatnya’. Manfaat hidup yang sesungguhnya harus kita lihat dalam
korelasinya dengan penciptanya bukan dalam hal hubungannya dengan penyakit yang
diderita ataupun dalam hubungannya dengan pihak keluarga yang menganggabnya
tidak berarti lagi. Sebenarnya, jika memang merasa kasihan,
tindakan kasihan itu tidaklah dilakukan dengan cara menghabisi hidupnya. Karena
kasih sayang itu bukan dengan cara membunuh. Euthanasia ini dapat dilakukan
dengan cara memberhentikan alat-alat medis yang fungsinya menunjang kehidupan
pasien. Menurut kelompok kami, mengapa alat yang menunjang tersebut harus
dilepas dari pasien kalau kehidupannya bisa didukung dengan alat tersebut?
Alat-alat yang dilepas dari pasien hanya membuatnya akan mati dan itu sama saja
dengan membunuhnya, sehingga alat tersebut tidak perlu dilepas selama alat itu
masih menunjang diri pasien tersebut untuk hidup. Mengenai birokrasi rumah
sakit yang sering kali menunda tindakan penyembuhan jika administrasinya belum
selesai, menurut kami hal tersebut bukanlah tindakan euthanasia, karena
euthanasia adalah suatu bentuk kematian yang disengaja agar tidak merasakan
sakit, sedangkan penundaan tindakan pengobatan oleh rumah sakit, bukanlah
bertujuan untuk memberikan kematian yang “nyaman”. Masalahnya disini adalah
dokter belum bertanggungjawab atas pasien sebelum pasien tersebut sudah berada
didepannya, jadi selagi pasien masih berurusan dengan birokrasi rumah sakit,
pasien masih tanggungan keluarga. Untuk mengurangi hal-hal seperti ini,
pemerintah Indonesia harus semakin ketat terhadap peraturan hukum yang terdapat
pada pasal 304 KUHP, dimana penundaan pengobatan akibat administrasi yang belum
selesai yang adalah suatu tindakan yang disengaja, bisa berkurang. Seharusnya,
administrasi bisa dilakukan setelah pasien ditangani agar tidak terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan. Hidup dan mati adalah hak prerogatif Tuhan sebagai Sang
Pencipta. Allah
telah memberi kita hak untuk membuat pilihan dalam kehidupan ini. Manusia lebih berharga daripada materi (band.
Matius 5, tentang khotbah di Bukit). Alasan-alasan seperti
rasa kasihan melihat penderitaan pasien, alasan ekonomi, atau kerepotan mengurus
pasien, tidak bisa mengesampingkan hak prerogatif Allah tersebut.
Jadi menurut
kami, euthanasia merupakan salah satu praktek kedokteran yang tidak bermoral.
Jika euthanasia dilakukan bedasarkan permintaan pasien, kita perlu menyadari
bahwa tidak seorang pun yang dapat menentukan kematianya. Secara tidak langsung
permintaan tersebut sama dengan bunuh diri. Jika euthanasia dilakukan dengan
alasan untuk mengurangi beban penderitaan pasien atau alasan ekonomi keluarga
yang tidak mampu, tentu saja hal ini melanggar hak asasi si pasien. Pengakhiran
kehidupan tanpa sepengetahuan pasien sudah termasuk dalam kategori tindak
pidana pembunuhan. Sesuai dengan sumpahnya, seorang dokter seharusnya berusaha
untuk mempertahankan kehidupan pasien sampai batas akhir kesanggupannya. dalam
kode etik kedokteran (1969) juga dinyatakan bahwa dokter harus mengerahkan
kepandaian dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup,
tetapi tidak dengan cara mengakhiri hidup setiap pasien.
2.4. Euthanasia dalam pandangan hukum di Indonesia
Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya
melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif
dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja
menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada
pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar
belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan
tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi
penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang
belum diketahui pengobatannya
Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia
adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada
peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344, 338, 340, 345, dan
359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dari ketentuan tersebut, ketentuan yang
berkaitna langsung dengan euthanasia aktif terdapat pada pasal 344 KUHP.
Pasal 344 KUHP : barang siapa menghilangkan jiwa
orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan
sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Untuk euthanasia aktif maupun pasif tanpa
permintaan, beberapa pasal dibawah ini perlu diketahui oleh dokter.
Pasal
340 KUHP : Barang siapa yang dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord),
dengan hukuman mati
atau
pejara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua
puluh tahun.
Pasal
359 : Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Pasal 345 : Barang siapa dengan sengaja menghasut
orang lain untuk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau
memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat
tahun penjara.
Berdasarkan
penjelasan pandangan hukum terhadap tindakan euthanasia maka dokter dan
keluarga yang memberikan izin dalam pelaksanaan tindakan tersebut dapat
dijeratkan dengan pasal 345 KUHP dengan acaman penjara selama-lamanya empat
tahun penjara.
0 komentar:
Posting Komentar